AISA : Kasus Beras yang Menjerat
Salah satu hal yang menarik perhatian investor di
pasar saham Indonesia selama semester pertama di tahun 2017 adalah
penggerebekan yang dilakukan oleh kepolisian di gudang PT Indo Beras Unggul
(IBU) (anak usaha dari AISA) yang mana proses penggerebekan ini dipimpin
langsung oleh Kapolri. Unik memang bahwa untuk penggerebekan sekelas gudang
beras dilakukan langsung oleh Kapolri, dan kami pikir ini diluar kebiasaan
penggerebekan kasus. Terlepas dari kasus tersebut AISA merupakan salah satu
emiten yang cukup menarik di BEI.
AISA sendiri berdiri pada tahun 1990 oleh Bapak
Joko Mogoginta, Bapak Budhi Istanto, dan Bapak Priyo hadisusanto (Almarhum)
dengan nama PT Tiga Pilar Sejahter yang mana produk awal adalah bihun kering
dan mie kering. Jjadi produk utama dari AISA adalah bihun dan mie kering,
tetapi makin kesininya AISA mencoba mendiversifikasi lini bisnisnya termasuk
dimana AISA memasuki lini penjualan beras pada tahun 2010 dengan mengakuisisi
PT Dunia Pangan dan PT Jatisari Srirejeki (sampai pada tahun 2016 PT Dunia
Pangan memiliki 5 anak usaha dengan kapasitas produksi beras 480.000 ton
pertahun) dan pembangkit listrik melalui anak usahanya yakni PT Patra Power
Nusantara serta perkebunan kelapa sawit (meski pada akhirnya lini bisnis sawit
yakni PT Golden Plantation Tbk dijual kembali karena dianggap tidak memberikan
kontribusi signifikan bagi perseroan).
Lini bisnis perseroan sendiri dibagi menjadi dua
divisi yakni divisi food dan divisi beras. Divisi food sendiri membawahi beberapa
produk makanan seperti bihun kering, mie kering, taro, biskuit dll, sedangkan
divisi beras sendiri hanya membawahi produk beras. Sejak memasuki lini bisnis
perdagangan beras, pertumbuhan divisi beras sangat baik hingga memberikan
dampak yang signifikan dan menggeser Divisi Food yang pada awalnya adalah lini
bisnis utama perseroan.
Paparan Public Expose perseroan pada
Agustus 2017
Mari perhatikan grafik diatas. Terlihat jelas
bahwa divisi beras sangat mendominasi terhadap pendapatan perseroan secara
keseluruhan yang diikuti oleh makanan dan sawit. Bahkan kontribusi beras
terhadap keseluruhan pendapatan perusahaan lebih dari 50% dan ini memang dapat
diterima karena beras adalah makanan pokok orang Indonesia, dan memang sulit
untuk mengganti beras dengan makanan pokok lainnya seperti jagung ataupun sagu.
Pada laporan keuangan perusahaan sendiri pada kuartal pertama 2017 beras masih
menjadi penyumbang terbesar pendapatan perusahaan yang mencapai 63% dari total
pendapatan perusahaan. Namun perlu diketahui ternyata pada periode yang sama
penjualan beras turun sebesar 17% dimana pada tahun 2016 penjualan beras
mencapai Rp 1,1 triliun menjadi Rp 922,5 miliar sehingga secara keseluruhan
menurunkan pendapatan perusahaan. Kembali pada grafik diatas, perusahaan
enargetkan penjualan beras pada tahun 2017 sebesar Rp 3,09 triliun, sementara
pada kuartal I 2017 perseroan mampu menjual beras sebesar Rp 922,5 miliar atau
29,8% dari total target perusahaan. Meski mengalami penurunan penjualan yang
signifikan namun melihat target perusahaan serta pencapaian pada kuartal I yang sebesar 29,8% atau hampir sepertiga dari
total target perseron maka kami menganggap bahwa target penjualan beras pada
2017 dapat tercapai (selama perusahaan juga mampu melewati kasus yang dialami oleh
anak usahanya).
Kemudian untuk produk makanan, perseroan tetap
mampu stabil dalam penjualannya. Tercatat penjualan pada kuartal I 2017
perseroan mampu memperoleh pendapatan dari makanan sebesar Rp 563,7 miliar dan
hanya mampu tumbuh sebesar 2,3% dari pendapatan perseroan dari bisnis ini di
tahun 2016 yang sebesar Rp 550,7 miliar. Kamudian pada produk sawitnya pada
2017 perseroan sudah tidak memiliki lini bisnis di sektor ini karena memang
anak usaha yang membidangi sektor ini yakni PT Golden Plantation Tbk (yang juga
tercatat di di bursa dengan kode GOLL) telah dijual ke PT JOM Prawarsa
Indonesia. Hal ini dilakukan karena memang selama ini kontribusi sektor ini
terhadap perseroan sangat kecil yakni sekitar 1% dari total pendapatan (bisa
juga dikatakan perseroan telah gagal dalam melakukan investasi di sektor CPO).
Dari sini saja kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa dengan kasus yang
menimpa anak usaha AISA pada Juli 2017
lalu telah membuat khawatir investor terhadap kelangsunga perseroan meski kami
sendiri belum mengetahui (ini juga disampaikan oleh pihak manajemen perseroan)
dampak terhadap operasional perusahaan (karena perseroan sendiri belum merilis
LK kuartal II 2017 dan memang kejadian ini terjadi di kuartal III 2017 periode
berjalan). Maka untuk melihat dampak dari kasus tersebut terhadap perseroan
akan mulai terlihat pada laporan keuangan perseroan di kuartal III 2017 (we
will see later).
Kinerja perseroan kuartal I 2017
AISA merupakan perseroan yang berada di sektor
Consumer Good yang mana sektor ini dikenal sebagai sektor yang tahan terhadap
krisis (bagaimana tidak tahan krisis, sekrisis apapun suatu negara masyarakat
akan tetap membutuhkan makanan karena memang kebutuhan dasar manusia). Meski
begitu keuangan perseroan tidak bisa dikatakan bagus ataupun jelek. Karena
kalau kita bandingkan dengan perusahaan sejenis disektor yang sama maka AISA
ini kurang menarik dan kebiasaan perseroan yang mempublish laporan keuangan
yang sering telat menjadi catatan tersendiri bahwa manajemen perseroan juga
kurang kredibel. Meski begitu terlalu naif rasanya jika kita melupakan begitu
saja saham ini. Tercatat pada tahun 2016 lalu harga saham AISA tercatat
terperosok di Rp 860 per lembarnya atau hanya dijual pada PBV 0,67 kali. Jadi
kalau saat ini AISA dijual di harga pada harga Rp 1.035 per lembarnya atau
dijual pada 0,79 kali PBV nya, maka cukup sulit untuk tidak diperhatikan dengan
catatan perusahaan mampu melewati kasus yang dialami oleh anak usahanya.
Penjualan pada kuartal I 2017 perseroan menurun sebesar
12,3% sehingga mengakibatkan laba bersih perseroan juga turun sebesar 15,8%
yang mengakibatkan harga saham ini turun yang kemudian penurunan signifikan
terjadi setelah penggerebekan oleh kepolisian terhadap pabrik PT IBU yang mana
dalam kelanjutan kasusnya kepolisian menetapkan Direktur Utama PT IBU
berinisial TW atau Trisnawan Widodo menjadi tersangka dalam kasus tersebut.
Okey, kita kembali lagi ke laporan keuangan
perseroan. Pada tahun 2016 lalu perseroan menjual salah satu anak usahanya
yakni PT Golden Plantation Tbk (GOLL) sehingga perseroan memperoleh dana segar
Rp 521,4 miliar. Namun pada praktiknya hingga laporan keuangan kuartal I 2017
keluar, perseroan belum mendapatkan dana hasil penjualan tersebut, sehingga kas
dan setara kas perseroan tetap tidak berubah signifikan. Penjualan ini
dilakukan karena GOLL dianggap tidak memberikan kontribusi terhadap entitas
induk sehingga memberatkan kinerja keuangan perseroan. Sehingga produk / lini
bisnis perusahaan kembali pada dua produk utama yakni makanan dan beras. Namun
pada tahun 2017 ini perseroan memasuki lini bisnis listrik dengan meresmikan PT
Patra Power Nusantara serta mersemikan pabrik unit 5 yang digunakan untuk
produksi bihun instan bihunku pada 2016 (seharusnya pada 2017 ini pabrik unit 5
ini mulai memberikan kontribusinya).
Lalu gimana dengan kasus yang menimpa anak
usaha AISA?
Okey, begini kronologinya :
·
Pada
tanggal 20 Juli 2017 penyidik Bareskrim Polri atau Satgas Pangan melakukan
pemeriksaan terhadap pabrik, gudang dan sekitarnya yang pada akhirnya
memberikan police line di area pabrik dan gudang
·
Pada
malam harinya, tim Penyidik Bareskrim Polri, KPPU, Kapolsek dan kapolres
setempat, Kapolda Jabar, Kapolri, dan Menteri Pertanian melakukan jumpa pers
bersama-sama di lokasi PT IBU
·
Pada
awalnya kasus yang menimpa PT IBU ini adalah persoalan oplosan beras, namun
kesininya kasus PT IBU mengarah pada “penipuan” kandungan GIZI.
Kita tahu bahwa PT IBU ini adalah salah
satu anak usaha yang memproduksi beras, lalu gimana impack / pengaruhnya terhadap
perseroan?
Dalam penjelasan manajemen perseroan, bahwa
pendapatan keseluruhan PT IBU ini memiliki kontribusi sebesar 14% dari total
pendapatan perusahaan. Itu pertama dari sisi total pendapatan perusahaan. Lalu
kontribusi PT IBU terhadap divisi beras pada perseroan adalah sebesar 23% dari
total pendapatan divisi beras. Itu artinya PT IBU menyumbangkan pendapatan
sebesar Rp 212,2 miliar, sehingga jika PT IBU ini mengalami “force majeure”
katakanlah ijin operasional PT IBU dicabut maka ini akan memberikan dampak yang
luar biasa bagi pendapatan perseroan. Namun kenyataannya sampai hari ini PT IBU
masih beroperasional seperti biasa bukan? Dan memang perseroan dalam menjual
produk berasnya tidak langsung ke konsumen tingkat akhir, tetapi ke mitranya
atau pihak ketiga. Jadi kemungkinan besar penjualan beras maknyus, ayam jago
turun signifikan tidak akan terjadi. Kalaupun turun itu hanya pada periode
sementara katakan sampai 3 bulan dari kasus tersebut mencuat atau sampai
terdapat kejelasan mengenai status tersangka dari Dirut PT IBU.
Jadi sampai perseroan mengeluarkan LK quartal II
2017 maka pergerakan saham AISA tetap akan mondar-mandir di area 1000. Lalu dengan
harga yang sekarang ini apakah AISA layak dikoleksi atau dihindari? Well,
dengna mempertimbangkan kasus serta harga AISA yang bisa kami katakan cukup
atraktif, maka AISA ini bisa dikoleksi dengan dana yang sedikit saja dari total
dana yang diperuntukan untuk AISA. Sampai kapan AISA akan mondar-mandir di area
1000? Seperti yang telah kami paparkan
sebelumnya, yakni sampai keluar LK II 2017 (tergantung hasilnya bagaimana di LK
tersebut) atau sampai pada kejelasan kasus tersebut. Dan untungnya yang
ditetapkan sebagai tersangka ini bukanlah pemilik dari AISA atau manajemen dari
AISA, melainkan Direktur Utama dari anak usahanya.