SSIA : Penjualan Tol yang Belum Menampakkan Hasilnya
Pada laporan keuangan kuartal
II SSIA mencatatkan laba bersih jumbo sebesar Rp 1,2 triliun dengan EPS
perseroan tercatat sebesar Rp 264,42 per lembar (atau 528,84 jika disetahunkan)
sahamnya atau tercatat naik 12 kali lipat dari EPS tahun 2016 di periode yang
sama. Namun yang menjadi pertanyaan adalah dengan laba bersih yang segitu
jumbonya, kenapa harga saham SSIA sideways bahkan tercatat PER SSIA hanya
sebesar 1,17 kali ?
Saat ini SSIA diperdagangkan
pada harga 615 per lembarnya sehingga harga saham SSIA tampak sangat murah
melihat PER yang segitu kecilnya dan lain sebagainya. Namun ketika kita melihat
lebih jauh laporan keuangan SSIA maka kita akan tahu penyebabnya, pertama
pendapatan usaha SSIA tercatat sebesar Rp 1,5 triliun turun 25% dari 2016 yang
tercatat sebesar Rp 2,08 triliun. Kedua pendapatan lainnya tercatat sebesar Rp
1,78 triliun sedangkan laba kotor hanya tercatat Rp 414 miliar.
Pada tanggal 8 mei 2017 lalu
SSIA menjual kepemilikan sahamnya atas tol Cikopoli-Palimanan kepada PT Astratel
Nusantara (Astra Infra, sebuah anak usaha dari PT Astra Internasional Tbk) dan
mengantongi dana segar sebesar Rp 2,56 triliun. Dimana dalam perjanjian jual
beli tersebut Astra Infra akan membayarkan 15% dari jumlah pembayaran pada
tanggal penjualan yakni 8 Mei 2017 sedangkan sisanya atau sebesar 85% akan
dibayarkan pada Januari 2018. Itu artinya pada awal 2018 nanti (ini akan
terlihat pada laporan keuangan kuartal I 2018) SSIA akan mendapatkan dana segar
sebesar Rp 1,99 triliun (hampir 2 triliun) yang akan digunakan untuk membuka
peluang investasi baru (sampai di sini kami belum mengetahui apa rencana
penggunaan dana tersebut). Itu artinya pada kuartal ke II 2017 SSIA hanya
mengantongi dana sebesar Rp 334 miliar. Jadi dengan melihat ini sebenarnya SSIA
ini hanya mendapatkan laba bersih sebesar Rp 87,3 miliar dan jika kita
tambahkan dengan dana yang didapatkan SSIA maka laba usaha SSIA hanya sebesar
Rp 342,3 miliar.
Okey, sekarang kita
lihat kenapa kinerja SSIA tampak baik meski sebenarnya buruk.
Kita mulai dari sumber
pendapatan SSIA. SSIA adalah perusahaan yang bergerak dibidang properti, jasa
konstruksi, perhotelan komersial, dan pengembangan kawasan industri melalui
entitas anak usaha. Berikut ini daftar entitas anak usaha SSIA :
1. Properti : PT Surya Cipta Swadaya, PT SLP Surya Ticon Internusa, PT TCP
Internusa, dan PT Sitiagung Makmur
2. Konstruksi : PT Nusa Raya Cipta Tbk (kode ticker di bursa NRCA)
3. Perhotelan : Suryalaya Anindita Internasional, PT Ungasan Semesta
Resort, PT Surya Internusa Hotel
Lalu bagaimana kontribusi
masing-masing bidang terhadap pendapatan usaha dan EBITDA SSIA?
Pada semester pertama tahun
2017 pendapatan SSIA ditunjang oleh konstruksi sebesar 66%, properti 13%, dan
perhotelan 21%. Dari sini kita dapat melihat bahwa pendapatan utama perseroan
masih ditopang penuh oleh sektor konstruksi. Namun ternyata ketika kita menilik
EBITDA perseroan maka porsinya berubah cukup drastis di mana sektor konstruksi
hanya menyumbangkan sebesar 36%, properti 35%, dan perhotelan sebesar 29%. Artinya
pada sektor konstruksi terdapat beban usaha yang cukup besar sehingga menggerus
separuh dari pendapatan usaha konstruksi.
Sebelumnya kita telah
membahas mengapa dengan laba bersih perseroan yang meningkat drastis tetapi
harga saham SSIA tidak juga kunjung naik, coba Anda perhatikan grafik di bawah
ini
![]() |
Sumber : Materi Public Expose SSIA |
Terlihat jelas bahwa seluruh
pendapatan dari operasional mengalami drop yang cukup parah (bisa dikatakan
begitu) di mana pendapatan perseroan turun sebesar 25,4%, laba kotor jatuh
sebesar 31,6% dan EBITDA? Terpangkas lebih dari separuh yakni 52,7% dibanding
periode yang sama di tahun 2016. Namun laba bersih perseroan ternyata meningkat gila-gilaan, ini karena (seperti
yang telah kita bahas di awal) perseroan menjual kepemilikannya atas tol
Cikopoli-Palimanan yang merupakan tol terpanjang di Indonesia sepanjang 116 Km.
Sumbangsih pendapatan sektor
properti untuk seluruh pendapatan perseroan tercatat Rp 205 miliar atau turun
sebesar 56,9% dari tahun lalu yang sebesar Rp 475 miliar. Kemudian sektor
konstruksi tercatat Rp 1.024 miliar dan tercatat turun sebesar 20,9%. Lalu bagaimana
dengan sektor perhotelan? Ternyata sektor perhotelan tumbuh sebesar 3,6% yakni
Rp 326 miliar. Meski tercatat mengalami kenaikan tetapi sektor perhotelan masih
belum mampu mendongkrak kinerja perseroan.
Lalu kenapa sektor
properti dan konstruksi SSIA turun drastis seperti itu? Padahal
saat ini pemerintah sedang gencar-gencarnya mendengungkan pembangunan
infrastruktur.
Itu dikarenakan mayoritas proyek
pembangunan infrastruktur diberikan kepada BUMN ketimbang kepada swasta. Lalu bagaimana
dengan properti? Meski banyak analis mengatakan sektor properti mulai bangkit,
ternyata masih belum bisa dirasakan oleh perseroan. Hal ini tercermin oleh
pendapatan sektor properti yang jeblok dan konstruksi (karena mayoritas
pendapatan sektor konstruksi ini adalah dari proyek-proyek properti).
Jadi kesimpulannya saat ini
adalah wajar jika harga saham SSIA cenderung turun karena memang uang hasil
penjualan tol Cikopoli-Palimanan ini baru diterima pada Januari 2018 mendatang
(jadi saat ini dana tersebut masih tercatat sebagai piutang bukan usaha dan
akan berubah pada pos akun kas dan setara kas setelah Januari 2018). Namun secara
pendapatan yang bersumber dari murni kegiatan usaha, SSIA masih mengalami tren
penurunan dan ini belum terlihat Anda pembalikan arah. Perlu diketahui bahwa
sampai pertengahan 2017 ini kontrak konstruksi yang didapatkan perseroan (anak
usaha SSIA yakni NRCA) baru sebesar Rp 1,3 triliun atau sebesar 36,3% dari
target perseroan sebesar Rp 3,5 triliun. Jadi akan sangat menarik jika kita
mengoleksinya nanti setelah atau akan dibayarkan sisa hasil penjualan tol
Cikopoli – Palimanan tersebut.