BUMI : Melirik Sang Primadona Bursa
Jika Anda telah berinvestasi
di Bursa Saham Indonesia, maka tidaklah mungkin jika Anda tidak mengenal
minimal mendengar nama saham BUMI. Yup, BUMI disebut-sebut sebagai saham sejuta
umat. Julukan ini melekat padanya kurang lebih sejak tahun 2007 lalu. Namun saat
ini harga saham BUMI berada di bawah Rp 200 per lembarnya, berbanding terbalik
ketika BUMI berada di atas awan dengan harga sahamnya lebih dari Rp 8000 per
lembarnya.
Lalu apa sih yang menarik dari saham BUMI ini? Toh saat
ini BUMI masih mengalami defisiensi modal.
Jika kita melihat aset di mana
pada kuartal II 2017 aset BUMI tercatat sebesar USD 3,13 miliar terlihat sangat
besar namun pertumbuhan aset BUMI tidaklah signifikan dibanding kuartal yang
sama di tahun 2016 atau hanya naik 0,8% saja.
Lalu bagaimana perkembangan utang dan ekuitas perusahaan?
Pada kuartal II 2017
perusahaan melaporkan bahwa perseroan telah membukukan laba bersih sebesar USD
145,6 juta atau sama dengan USD 4,49 per 1000 lembar sahamnya. Namun ternyata
laba bersih sebesar itu tidaklah murni didapatkan dari seluruh aktivitas operasional
BUMI. Tercatat dalam laporan laba rugi perusahaan, pendapatan perusahaan dari
operasionalnya hanya sebesar USD 15,6 juta berbanding USD 12,8 juta pada tahun
2016 pada kuartal yang sama. Itu artinya perseroan mencatatkan peningkatan
pendapatan sebesar 22,14%. Besar bukan pertumbuhannya?
Namun bagaimana bisa laba
bersih BUMI tercatat sebesar USD 145,6 juta sedangkan pendapatan hanya tercatat
sebesar USD 15,6 juta? Jawabannya terletak pada pendapatan lain-lain perusahaan
yang sebesar USD 126,3 juta. Di mana pendapatan yang sebesar USD 15,6 juta
tersebut berasal dari manajemen Fee dari beberapa anak usaha BUMI, sedangkan
pendapatan yang sebesar USD 145,6 juta tersebut adalah dampak dari
restrukturisasi hutang sehubungan dengan penjualan 1.640.177 saham
dengan kepemilikan 24%
di NNT serta
beban yang di bawah USD 1.000.000.,
itu artinya laba bersih yang dicatatkan perseroan adalah dampak dari upaya
manajemen dalam merestrukturisasi hutangnya. Dimana kita tahu bahwa pada saat
yang sama perseroan mencatatkan beban usaha sebesar USD 17,6 juta yang artinya
perusahaan secara operasional (bisnisnya) masih mengalami kerugian dari selisih
pendapatan dengan beban yang ditanggung dalam kegiatan operasionalnya (tentunya
belum memperhitungkan beban-beban lainnya).
Jadi kalau kita melihat
disisi ini saja sebenarnya BUMI sudah tidak menarik, jangankan untuk investasi
untuk dilirik saja jangan sampai terdapat perubahan yang cukup meyakinkan dari
kondisi keuangan perusahaan.
Tidak berbeda jauh dengan
TRAM (Anda bisa melihatnya disini) BUMI ini juga
bisa dikatakan sebagai perusahaan yang dimiliki kreditor. Kenapa demikian? Coba
Anda bayangkan, bagaimana bisa sebuah perusahaan yang mengalami defisiensi
modal secara terus menerus dan parahnya lagi BUMI ini tidak memiliki modal sama
sekali bahkan tercatat minus USD 3,2 miliar tetap berjalan dan beroperasi? Kemudian
hutang perusahaan tercatat sebesar USD 5,54 miliar secara keseluruhan dengan
beban hutang jangka pendeknya sebesar USD 461 juta. Jadi dengan kondisi
demikian secara tidak langsung setiap lembar sahamnya diharuskan membayar
hutang sebesar USD 0,15 per lembarnya atau sebesar Rp 2.025.
Lalu apa yang membuat banyak orang tetap tertarik terhadap saham BUMI ini?
Hingga tahun 2017 ini
perseroan memiliki cadangan batu bara sebanyak 2.739,19 juta ton dan hingga
saat ini belum diproduksi sama sekali, artinya cadangan tersebut masih tetap
dan masih berupa cadangan batu bara dalam tanah. Namun perlu diingat kembali
bahwa cadangan tersebut masih berupa cadangan yang berdasarkan penelitian,
sedangkan cadangan tersebut belum memberikan efek apapun kepada perusahaan
sampai hari ini. Termasuk pendapatan
perseroan serta kepada peningkatan ekuitas perusahaan. Jadi kurang lebih adalah
cadangan batu bara BUMI inilah yang menjadi perhatian utama para investor
ditambah lagi harga acuan batu bara yang
terus merangkak naik mendekati UUSD 100/ton.
Namun ada yang menarik di sini,
dalam ulasan di atas terlihat bahwa BUMI mencatatkan pendapatan sebesar USD 15,6
juta sehingga seharusnya secara operasional BUMI ini mengalami kerugian dan
faktanya jika kita melihat lebih jauh kedalam laporan keuangan perusahaan maka Anda
akan mendapati bahwa perusahaan membukukan pendapatan sebesar USD 2,3 miliar
atau berbeda sebesar 150 kali, hal ini disebabkan oleh perbedaan metode
perhitungan. Dimana pada laporan laba rugi yang menyebutkan bahwa perseroan
mencatatkan pendapatan sebesar USD 15,6 juta menggunakan metode PSAK sedangkan
metode konsolidasi mencatatkan pendapatan sebesar USD 2,3 miliar dan laba
bersih sebesar USD 248 juta.
Terlepas
dari perbedaan metode perhitungannya, faktanya adalah BUMI tetaplah BUMI yang
ekuitasnya negatif, dan ini akan sedikit menyulitkan dalam menentukan nilai
wajar berdasarkan PBV atau perkembangan ekuitasnya sebagai bagian yang dapat
dimiliki investor (dengan asumsi setelah dikurangi beban/utang). Maka kecuali
jika Anda meyakini bahwa BUMI akan mencatatkan kinerja yang terus membaik dan
sukses membuat ekuitasnya bernilai positif maka BUMI layak untuk investasi,
akan tetapi kami sendiri saat ini hanya memasukkan BUMI sebagai bagian
wathclist kami dengan berbagai pertimbangan seperti ekuitas yang masih negatif
dan masih berjalannya proses penyelesaian utang perusahaan.